Mengapa Imam Al-Ghazali Tidak Ikut Berjihad Melawan Pasukan Salib ?
Mengapa
Imam Al-Ghazali Tidak Ikut Berjihad Melawan Pasukan Salib ?
Dinasti Seljuk
mampu merebut kembali wilayah Syam secara keseluruhan dari kekuasaan pasukan
Byzantium. Tidak hanya itu, Dinasti Seljuk di Turki mampu memperluas
kemenangannya ke Asia kecil menawan Kaisar Byzantium dalam sebuah pertempuran
terkenal bernama Manzikert. Ini merupakan pertempuran pertama dalam sejarah
perang berkepanjangan antara Islam dan Byzantium. Hanya saja pada permulaan
tahun 490 H, perang ini mulai berubah coraknya menjadi perang salib.
Pasukan Salib
berhasil menguasai sejumla wilayah kekuasaan Islam terutama Baitul Maqdis. Prof.
Yusuf Qardhawi dalam bukunya “Al-Imam Al-Ghazali baina Madihihi wa Naqidihi “
menyatakan Pasukan Salib mengalirkan banyak darah dalam penahlukannya, membunuh
kurang lebih enam puluh ribu jiwa penduduknya dan menyebabkan umat Idslam
tercerai berai menghadapi serangan keji ini.
Hanya saja dengan
kebiadaban dan kekejaman serangan pasukan salib ini, Imam Al-Ghazali tidak
terdengar suaranya. Padahal beliau adalah seorang Ulama yang seruannya
didengar dan dihormati, memiliki kemampuan bahasa yang menyentuh hati dan
hujjah yang kuat.
Apa yang membuatnya
tidak memperbincangkan tentang Al-Jihad ? Mengapa Imam Al-Ghazali tidak
menggerakan masanya sebagaimana yang
dilakukan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, Ibnu
Asakir ? Para Ulama Kontemporer
memberikan pandangannya Terhadap Sikap diam
Imam Al-Ghazali terhadap Perang Salib.
Pendapat Dr. Zaki Mubarak
Dr. Zaki Mubarak, seorang
Ulama kontemporer dalam bukunya “Al-Ahlak ‘inda Al-Ghazali” menyatakan penyebab
Imam Al-Ghazali tidak ikut serta dalam Perang Salib karena Imam Al-Ghazali sedang
berkonsentrasi dalam ibadahnya, ia tenggelam dalam meditasi dan isolasi dirinya
tanpa mengetahui apa yang harus dilakukannya dalam dakwah dan jihadnya.
Pendapat Dr Umar Farukh
Adapun Dr. Umar
Farukh dalam bukunya “Abu Hamid
Al-Ghazali wa AT-Tashawwuf” menyatakan : Sebelumnya, kaum Sufi
berkeyakinan bahwa Perang Salib merupakan
hukuman bagi umat Islam atas dosa-dosa dan kesalahan yang telah mereka
lakukan. Bisa jadi Imam Al-Ghazali memiliki keyakianan yang sama seperti ini.
Prof. Ahmad
Ali-Ashallabi, pakar sejarah Islam membantah pernyataan Dr Umar Farukh tersebut
dengan menyatakan bahwa tidak bijak mengeneralisikan bahwa Sufi tidak ikut
serta dalam Jihad, bahkan sebagain besar mereka ikut akif dalam perjuangan
melawan kaum Salib. Abdul Qadir Al-Jaza’ir merupakan tokoh besar Sufi yang menjadi
pemimpin perjuangan pertama melawan Prancis di Al-Jaza’ir, begitu juga Ahmad
Syarif As-Sanusi dan Umar Al-Mukhtar yang menjadi gerakan Jihad di Libya
merupakan tokoh Sufi.
Di samping itu
kaum Sufi juga berperan aktif pada masa sekarang melawan penajajahan Amerika di
Irak. Permasalahann yang sebenarnya adalah bahwa kaum Sufi yang berjihad merupakan
pengikut Tasawuf Suni yang berdiri di atas prinsip-prinsip keyakinan dan
pemikiran ahlusunnah seraya memperbanyak ibadah, berdzikir dan zuhud. Akan
tetapi Tasawuf yang menyimpang dan berdiri di atas penyembahan jenazah dan
mensakralkan tokoh-tokoh , melaksanakan bid’ah,merupakan kaki tangan para
penjajah.
Pendapat Prof. Yusuf Al-Qardhwi
Prof. Yusuf
Al-Qardhawi dalam bukunya “Al-Ghazali baina wa naqidihi” menyatakan : Bisa jadi
sikap diam Imam Al-Ghazali semacam ini karena sibuk melakukan reformasi secara
intern terlebih dahulu dan bahwa kerusakan dalam negeri itulah yang mendorong
terjadinya serangan dari pihak luar.
Hal ini
sebagaimana yang ditunjukan dalam permulaan surat Al-Isra’, dimana setiap kali
bani Israil melakukan kerusakan di muka bumi, maka musuh-musuh mereka menguasai
mereka. Setiap kali mereka baik, maka dikembalikanlah kekuasaan mereka
sebelumnya.
Visi dan misi
terbesar Imam Al-Ghazali adalah memperbaiki sikap dan perilaku individu, yang
merupakan nukleus masyarakat. Perbaikan individu hanya dapat dilakukan dengan
perbaikan hati dan pemikirannya. Dengan starategi ini, maka perbuatannya dan
perilakunya akan menjadi baik dan aktivitas kehidupannya secara keseluruhan
membaik. Inilah prinsip utama perubahan sosial.
Hal ini
sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah “ Sesungguhnya Allah tidak
merubah keadaan sutau kaum sehingga mereka merubah keadaan yanga ada pada diri
mereka sendiri (Q.S Ar-Ra’d : 11), termasuk idalamya reformasi para pemimpin
dengan memberikan nasihat dn pengarahan yang baik kepada mereka. Dan Allah Maha
Mengetahui sikap diamnya Imam Al-Ghazali.
Pendapat Majid Arsan Al-Kailani
Dr. Majid Arsan
Al-Kailani dalam bukunya “Al-Imam Al-Ghazali” dan “Hakadza Zhahara Jil Shalad
Ad-Din” menyatakan : Mengenai masalah Jihad, Imam Al-Ghazali membahasnya dalam
sebuah tema besar “Al-Amr bi AL Ma’ruf Wa An-Nahy ‘an Al-Munkar”. Imam Al-Ghazali
menganggap jihad merupakan salah satu bentuk amar makruf nahi mungkar. Sikap
Imam Al-Ghazali terhadap Jihad memberikan dua penting.
Pertama,
pengertian jihad menurut Imam Al-Ghazali
bukanlah membela dan mempertahankan orang-orang, kelompok, negara ataupun harta
benda melainkan mengemban misi untuk amar makruf nahi mungkar. Amar makruf
inilah yang merupakan faktor sebenarnya yang mendorong umat Islam untuk tampil
dalam panggung dunia.
Selama masyarakat
pada zaman Imam AL-Ghazali enggan mengemban tugas dan kewajiban beramar makruf
nahi mungkar sehingga membiarkan
nkemungkaran mewabah dimana-mana sehingga banya generasi muslim yang tidak
memiliki keperibadian dalam berpakaian, makan, minum dan pernikahan, maka
sebagaimana yang dikatakan ahli sejarah bernama Abu Syamsah “ seruan apapaun
untuk berperang secara militer tidak akan berguna kecuali didahului dengan
perjauanga melawan diri sendiri oleh kaum tersebut dengan segenap kemampuannya
hingga merka bisa merasakan arti penting dan pengorbanan jiwa dan harta benda
di jalan Allah.
Kedua, Imam
Al-Ghazali benar-benar memahami pengertian jihad yang menyeluruh dan fase-fase
yang harus dilalui. Jihad melalui tiga bentuk : jihad pendidikan, jihad sistem,
dan jihad militer. Pemahaman yang benar dan penanganan yang baik terdapat
ketigabentuk jihad ini serta menjaganya merupakan salah satu bentuk hikmah
dimana Allah menjadikannya sebagai langkah pertama dakwah kepada-Nya.
Hal ini
sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah “ Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik (Q.S An-Nahl :125).
Seruan berjihad
dalam bentuk pengerahan pasukan militer dan menyerukan kepada masyarakat yang
telah mati naluri perjuangannya dimana pemikiran-pemikiran dan keperibadian mereka bermuara di sekitar
kematian (tidak memiliki semangat juang beramar makruf nahi mungkar), maka sama
halnya menyerukan perang kepada jenazah-jenazah yang sudah terkubur.
Pemaparan ini bisa menjadi jawaban terhadap
serangan yang dilancarkan kepada Imam Al-Ghazali yang dituduh mengasingkan diri dari berbagai
permasalahan dunia Islam. Ruang lingkup reformasi Islam Imam Al-Ghazali
membuktikan dengan jelas bahwa tokoh kenamaan ini lebih memilih permulaan jihad pada bidang
pendidikan pada umatnya yang sedang mengalami kemalasan dan enggan untuk
berjuang, nilai-nilai kemungkaran telah menyelimuti umat sehingga semakin
menjauh dari nilai-nilai ajaran Islam.
Strategi Imam
Al-Ghazali ini dimaksudkan sebagai upaya pendahuluan untuk menyerukan atau
mendorong para pemimpin negara dan komandan militer yang bertanggung jawab
menggerakan jihad struktural atau sistem dan kemiliteran yang membawa bendera
amar makruf nahi mungkar dan beriman kepada Allah dengan sepenuh jiwa mereka.
Imam Al-Ghazali juga melancarkan kritikan terhadap para penguasa yang zalim,
memerangi kehidupan materialisme yang berlebihan, menyerukan penegakan keadilan
sosial dan memerangi berbagai aliran kepercayaan dan pemikiran yang menyimpang.
Komentar
Posting Komentar