Al-Qur’an Kalam Allah Bukan Perkataan Nabi
Polemik antara Al-Qur’an sebagai Kalam Allah ataukah perkataan Nabi
Muhammad Shallallahu alaihi wasallam kembali hangat diperbincangkan di
Indonesia. Pertanyaan apakah Al-Qur’an Kalam Allah atau Kalam Nabi awalnya
dimunculkan oleh Prof. Fazlur Rachman, Ph.D dalam bukunya “ Islam” yang
diterbitkan tahun 1979 oleh University of Chicago. Ia menyebutkan ; “ Al-Qur’an
senantiasa menghubungkan Muhammad dengan Allah ketika didalamya dinyatakan
otoritas dan dalam sejumlah besar ayat, agama memerintahkan agar mematuhi Allah
dan Nabi-Nya”.
Rachman menyatakan ; “ Bagi kaum
Muslimin, otoritas Al-Qur’an berada di atas otoritas Nabi sendiri Nabi sendiri,
yang keduanya berada di bawah perintah dan kebijaksanannya, sementara dia
(Nabi) sendiri hanyalah sebagai periwayatnya. Terdapat sedikit keraguan apakah
Nabi sendiri secara cermat membedakan antara lafaz Al-Qur’an dengan ucapan dan
tingkah lakunya sendiri dalam kehidupan sehari-hari”. Ia juga berkata : “ Sesungguhnya
Nabi telah menguji dan tidak mengubah otoritas di luar Al-Qur’an, tindakan atau
sunnah Nabi berdampingan dengan wahyu A-Qur’an”. Artinya seperti yang
disebutkan Prof. Mun’im Sirry bahwa Rahcman berpendapat Al-Qur’an sepenuhnya kalam Tuhan
dan, pada saat yang sama, sepenuhnya perkataan Nabi”.
Al-Qur’an
Sebagai Kalam Ilahi
Imam
Jalaluddin As-Suyuti dalam kitabya “Al-Itiqan” menyebutkan bahwa
Al-Qur’an adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi Wasallam yang tak dapat ditandingi oleh yang menentangnya, walaupun
sekedar sesurat saja”. Imam Asy-Syaukaniy dalam kitabnya ‘Al-Irsyad’
menyatakan Al-Qur’an merupakan kalamullah yang ditilawatkan dengan lisan lagi Mutawattir
(mustahil berdusta) yang dihukumi kafir orang-orang yang mengingkarinya”.
Istilah
“Kalam” mulai mucul setelah munculnya golongan Qadariyah dan Jahmiyah pada masa
pemerintahan Dinasti Bani Umayyah. Dr.
Muhammad Yusuf Musa dalam bukunya “ Al-Qur’an dan Filsafat” menyebutkan
sebagai berikut yaitu Kalamullah adalah sesuatu yang dibisikan kepada manusia
dengan perantaraan hamba-Nya yang terpilih (Para Nabi dan Rasull) dengan
membawa tatanan dunia dan kebahagiaan manusia baik menyangkut aqidah, syariah
maupun ahlak. Masalah Kalamullah ini telah menyibukan Dinasti Abbasiyah hingga
terjadi pertumpahan darah.
Paham
Qadariyah dan Jahmiyah kemudian berubah menjadi Muktazilah.Imam Asy-Syahrastani
dalam kitabnnya “Al-Milal Wa An-Nihal” menyebutkan Mukatazilah
berpendapat bahwa Allah itu Qadim, Qidam adalah sifat khusus bagi mahluk-Nya,
kaum Muktazilah sependapat bahwa kalam Allah itu baru yang pada Dzat-nya karena
kalam itu sendiri terdiri dari huruf, suara dan tulisan Mushaf dan dapat ditiru
bunyinya”.
Dalam fase kejayannya, Muktazilah
sebagai golongan yang mendapat dukungan penguasa memaksakan ajarannya kepada
kelompok lain. Pemaksaan ini dikenal dalam sejarah dengan peristiwa Mihnah
(Inquistion). Minnah ini timbul sehubungan dengan pemahaman Khalq
Al-Qur’an. Kaum Muktazilah berpendapat bahwa Qur’an adalah Kalam Allah yang
tersusun dari suara-suara dan huruf. Al-Qur’an adalah mahluk, dalam arti diciptakan
Tuhan. Karena diciptakan berarti ia suatu yang baru, jadi tidak Kadim. Jika
Al-Qur’an dikatakan Kadim, maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang Kadim
selain Allah dan ini hukumnya musyrik.
Khalifah Al-Ma’mun menginstruksikan agar semua aparat pemerintahan Dinasti Abbasiyah harus berpaham Muktazilah. Banyak Ulama yang ditangkap dan disiksa karena menolak pemahaman Muktazilah diantaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Bahkan banyak ulama yang dieksekusi mati seperti Al-Buwaiti dan Al-Khuzzai.Dr Muhammad Yusuf Musa menyatakan bahwa sementra itu golongan Asya’ari yang moderat berpedapat Al-Qur’an itu qadim tetapi qadim disini tidak mencakup huruf, tulisan, bunyi yang kita dengar dari pembacanya namun yang dimaksudkan Al-Qur’an sebagai “Kalamullah” yang menyatu dalam Dzat-Nya.
Sedangkan kata-kata atau bahasa yang
terbaca dalam Zabur, Taurat, Injil dan Al-Qur’an hanyalah bersifat tanda adanya
“Kalamullah”. Pendirian golongan Asy’ari menjadi penengah perdebataan
sia-sia antara apakah Al-Qur’an itu kalam Allah atau bukan. Lantas apakah
Al-Qur’an itu merupakan perkataan Nabi (Hadis) karena kalam-kalam Allah itu keluar
dari lisan Nabi ?. Pertanyaan semacam ini belum banyak dijelaskan para Ulama khususnya
ahli ilmu Al-Qur’an karena ulama terkemuka semua Mazhab belum ada yang
menentang Al-Qur’an sebagai firman Allah dan mereka tidak pernah menyatakan
Al-Qur’an itu kalam Nabi.
Al-Qur’an dalam pengertian
‘Kalamullah’ menyatu dalam Dzat Allah adalah bersifat Qadim sedangkan hadis
ialah kata-kata untuk menuliskannya dan bunyi yang diucapkan oleh para
pembacanya sehingga kita dengar.
Walaupun Al-Qur’an merupakan
Kalamullah yang disampaikan melalui perkataan Nabi tidak berarti Al-Qur’an
adalah perkataan Nabi. Karena ada yang beranggapan jika Nabi atau Rasull-Nya
berbahasa Ibrani maka Kalamullahnya akan berbahasa Ibrani dan ketika Nabi-Nya
berbahasa Arab maka kalam Allah akan berbahasa Arab dengan kata lain firman
Allah itu bertrasformasi dalam bahasa Tuhan menjadi bahasa manusia sehingga ada
perubahan kalam Allah berubah menjadi kalam manusia atau dengan kata lain kalam
Tuhan tidak murni lagi. Ini sebenarnya logika yang sifatnya menduga-duga
(hipotesa).
Kalam Allah itu dengan Dzat Allah
itu adalah satu kesatuan, dan Allah-lah yang menciptakan semua bahasa yang digunakan oleh manusia di seluruh
dunia dan Allah Maha Mengetahui seluruh bahasa itu, jadi Allah tidak memakai
satu bahasa sehingga ketika Dia hendak menurunkan firman-Nya maka Dia perlu
mengubahnya jadi bahasa yang digunakan manusia. Adapun ketika Allah menurunkan
firman-Nya dengan bahasa yang digunakan para Nabi dan Rasul-Nya untuk
menunjukan tanda-tanda kekuasaan-Nya dan Kemahatahuan-Nya. Yang patut diketahui
adalah Allah menurunkan Al-Qur’an berbahasa Arab bukan karena Rasulullah
berasal dari Arab tetapi Allah memang mengkendaki dari sekian banyak bahasa di
Dunia, Al-Qur’an sebagai kitab penyempurna dari kitab-kitab-Nya sebelumnya menggunakan
bahasa Arab, sebagaimana firman Allah :
إِنَّا
جَعَلْنَٰهُ قُرْءَٰنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Arab-Latin: Innā ja'alnāhu
qur`ānan 'arabiyyal la'allakum ta'qilụn. Artinya: Sesungguhnya Kami
menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya). {Q.S Az-Zukruf
ayat 3}.
Bahasa Arab Al-Qur’an
Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab
dalam bukunya “Mukjizat Al-Qur’an” menyebutkan bahwa tidak disangkal
bahwa ayat-ayat Al-Qur’an tersusun dengan kosa kata berbahasa Arab kecuali
beberapa kata yang masuk dalam pembendaharaannya akibat artikulasi. Bahasa Arab
termasuk dalam rumpun semit sama dengan bahasa Ibrani, Aramaik, Suryani, Kaldea
dan Babylonia. Utsman bin Jinni (932-1002), seorang pakar bahasa Arab
menekankan bahwa pemilihan huruf-huruf kosa-kata berbahasa Arab bukan suatu
kebetulan tetapi mengandung falsafah bahasa Arab itu sendiri.
Selain itu pemilihan bahasa Arab
sebagai bahasa Al-Qur’an menurut Prof. Dr. Muhammad Qurish Shihab karena memudahkan penyebarannya. Timur Tengah
adalah jalur penghubung antara Timur dan Barat sehingga wajarlah kawasan ini
menjadi tempat menyampaikan pesan Ilahi yang terakhir. Saat itu ada dua
adikuasa yaitu Persia dan Romawi sehingga memudahkan penyebaran Al-Qur’an ke
seluruh Barat maupun Timur. Jadi, pemilihan bahasa Arab sebagai bahasa
Al-Qur’an bukan berarti Rasulullah berasal dari bangsa Arab namun Allah memang
menghendaki Kalam-Nya yang terakhir (Al-Qur’an) berbahasa Arab.
Al-Qur’an dan Wahyu Illahi
Al-Qur’an sebagai kalam Allah
diturunkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melalui wahyu yang
disampaikan melalui Malaikat Jibril Alahisallam. Prof.Dr. Hasbi Ash-Shiddieqy
dalam bukunya “ Ilmu Al-Qur’an” menyebutkan bahwa wahyu artinya adalah
nama bagi yang dituangkan dengan cara cepat dari Allah ke dalam dada
Nabi-Nabi-Nya, sebagaimana dipergunakan juga untuk lafaz Al-Qur’an. Wahyu Allah
kepada Nabi-Nya adalah Allah tuangkan ke dalam jiwa Nabi yang Allah kehendaki
agar mereka sampaikan kepada manusia untuk menunjuki mereka di dalam dunia dan
alam akhirat. Nabi sesudah menerima wahyu itu, mempunyai kepercayaan yang
penuh, bahwa yang diterimanya itu adalah daripada Allah.
Jika merujuk pada Al-Qur’an maka
kita akan dapati petunjuk yang membuktikan bahwa Al-Qur’an merupkan sepenuhnya
firman Allah bukan perkataan Nabi. Petunjuk yang Pertama adalah , semua
firman Allah yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi
wasallam melalui wahyu, Allah berfirman dalam Al-Qur’an ;
۞ وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلِّمَهُ ٱللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ
مِن وَرَآئِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِىَ بِإِذْنِهِۦ مَا يَشَآءُ
ۚ إِنَّهُۥ عَلِىٌّ حَكِيمٌ
Arab-Latin: Wa mā kāna libasyarin
ay yukallimahullāhu illā waḥyan au miw warā`i ḥijābin au yursila rasụlan fa yụḥiya
bi`iżnihī mā yasyā`, innahụ 'aliyyun ḥakīm. Artinya: Dan tidak mungkin bagi
seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan
perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan
(malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki.
Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana (Q.S Asy-Syura ayat 51).
Al-Iraqi dalam kitabnya Tharhut
Ttasrib berkata bahwa As Suhaily telah mengumpulkan dalam kitabnya Ar-Raudlul
Anif, martabat-martabat wahyu yang diterima Rasulullah ada tujuh martabat
yaitu mimpi, dihembuskan ke dalam jiwanya, wahyu datang kepada Nabi sebagai
gerincingan lonceng yang keras, melalui Malaikat yang menyerupakan dirinya
sebagai seorang laki-laki, Malaikat Jibril datang menyampaikan wahyu dari Allah
dengan wujud aslinya yang mempunyai 600 sayap, Allah membicarakan kepada Nabi
dari belakang hijab baik dalam keadaan tertidur maupun terjaga, dan melalui
Malaikat Israfil. Menurut riwayat Amir Asy Sya’by bahwa tiga tahun lamanya
Israfil menyampaikan beberapa ketetapan kepada Nabi.
Kedua,firman Allah yang pertama turun adalah perintah (Iqra;baca).
Allah berfirman dalam Al-Qur’an :
ٱقْرَأْ بِٱسْمِ
رَبِّكَ ٱلَّذِى خَلَقَ
Arab-Latin: iqra` bismi rabbikallażī khalaq.Artinya: 1.
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan (1).
خَلَقَ ٱلْإِنسَٰنَ
مِنْ عَلَقٍ
Arab-Latin : khalaqal-insāna min
‘alaq. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2).
ٱقْرَأْ وَرَبُّكَ
ٱلْأَكْرَمُ
Arab-Latin : iqra` wa
rabbukal-akram. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah (3)
ٱلَّذِى عَلَّمَ
بِٱلْقَلَمِ
Arab-Latin : allażī ‘allama
bil-qalam4. Yang mengajar ‘(manusia) dengan perantaran kalam (4).
Al-Qur’an Surah Al-Alaq ayat 1-4 di atas
memberikan pernyataan tegas dari Allah bahwasanya Al-Qur’an merupakan murni
firman Allah yang dibacakan Nabi atas nama Allah Yang Maha Pemurah dan Maha
Pencipta
Petunjuk yang ketiga
yaitu dalam Al-Qur’an terdapat kata (ferasa) ‘ Qala (Katakanlah)’. Ahmad
Sholahuddin dan Ahmad Ismail dalam Jurnalnya berjudul “ Psikologi Kesabaran
dan Pendekatan Sematik Al-Qur’an : Makna
Qala Pada Ayat Istirja” menyebutkan bahwasanya kata Qāla (mengatakan)
memiliki arti yang beragam, yang tidak dapat dipahami oleh pembaca secara
akurat. Kata qala diulang sebanyak 1722 kali dalam
1600 ayat dari total 6236 ayat dalam Al Quran, setara dengan 25,65%.
Qala berasal dari akar kata ‘Qaul’. Dr. Harjani Hefni dalam bukunya “ Komunikasi
Islam” menyatakan bahwa dalam Al-Qur’an sebanyak 1.722 kali dalam
Al-Qur’an; 529 kali dalam bentuk “Qala”, 332 kali dalam bentuk “Qul”, 49 kali
dalam bentuk ‘Qila’, 52 kali dalam bentuk ‘Al-Qaul’ dan berbagai bentuk
lainnya. Rusda Salaeh dalam Jurnalnya berjudul “ Terjemahan Al-Qur’an Surah
Taha ke dalam Bahasa Indonesia Oleh Muhammad Yunus” menyebutkan bahwa kata
Qala dalam Al-Qur’an memiliki makna dan arti yang berbeda yatu bisa diartikan
sebagai ; berkata, berfirman, menjawab, dan bertanya. Qala dalam Al-Qur’an
menunjukan bahwa ayat yang disampaikan Nabi kepada manusia adalah firman Allah
bukan perkataan Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wasallam dan Nabi hanya
bertugas menyampaikannya.
Ketiga, dalam Al-Qur’an Surah Al-Kahfi ayat 24 Allah berfirman : “ Dan
jangan sekali-sekali kamu mengatakan terhadap sesuatu “Sesungguhnya aku akan
mengerjakan itu besok pagi. Kecuali dengan mengatakan “Jika Allah menghendaki”.
Dan Ingatlah kepada Tuhanmu apabila kamu lupa dan katakanlah “ Mudah-mudahan
Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada
ini”. Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa ayat ini merupakan
bimbingan Allah untuk Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wasallam mengenai
etika bahwa jika dia hendak melakukan sesuatu yang akan datang, hendaklah
mengembalikan hal kepadaYang Maha Mengetahui perkara gaib.
Ibnu Katsir berkata, sebab turunnya
ayat ini yaitu jawaban Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam ‘esok aku akan
menjawabmu’ takala beliau ditanya soal kisah Ash-Habul Kahfi maka wahyu terlambat 15 hari. Kaitannya dalam
pembahasan ini adalah Al-Qur’an merupakan firman Allah yang diturunkan melalui
wahyu kepada Nabi dan Nabi bertugas menyampaikan wahyu-Nya dan walaupun
Rasulullah merupakan penyampai wahyu kepada manusia tetapi ia tidak punya
otoritas untuk menguji dan menentukan kapan wahyu Allah akan diturunkan
padannya dan semua wahyu yang ditutunkan Allah kepada Nabi dibimbing Allah
sehingga tidak akan tercampur dengan perkataan Nabi sebagai manusia biasa.
Selain itu dalam Q.S Abasa ayat
1-10, pada ayat itu Allah menegur Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
yang bermuka masam dan berpaling karena seorang buta telah datang kepadanya
(Abdullah bin Ummi Maktum). Prof Yusuf
Al-Qardhwai dalam kitabnya “Tafsir Juz Amma” menyebutkan sebuah riwayat dari
Sufyan Ats-Tsauri berkata “ Setelah itu apabila Nabi melihat Ibnu Ummi
Maktum, beliau bersabda ‘ Selamat datang kepada orang yang telah membuatku
dicela oleh Tuhanku’, lantas beliau membentangkan selendangnya”. Teguran
Allah pada Nabi menunjukan bahwasanya Al-Qur’an kalam Allah bukan perkataan
Nabi, jika Al-Qur’an perkataan Nabi maka apa mungkin Nabi membiarkan dirinya
menegur dirinya sendiri dan menyampaikan tegurannya di hadapan manusia ? ayat
ini juga menunjukan bahwa ayat yang diturunkan Allah kepada Nabi, beliau
langsung menyampaikannya secara langsung pada umatnya walau ayat itu berisi
teguran kepadanya.
Demikian beberapa petunjuk yang
menunjukan Al-Qur’an merupakan kalam Allah bukan perkataan Nabi. Setiap wahyu
Tuhan yang turun kepada Nabi senantiasa berada dalam bimbingan dan penjagaan
Allah, sesuai Q.S Al-Hijr ayat 9 “ Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan
Al-Qur’an dan Kami pasti pula yang memeliharanya. Lantas apa bedanya kalam
Allah dengan perkataan Nabi sendiri ? perkataan dan setiap perilaku Nabi
disebut Sunnah (Hadis).
Sunnah bisa diartikan tradisi yang
bisa baik dan bisa buruk karena dari manusia dan jika perkataan atau tindakan
itu akan berkosekuensi buruk maka Allah akan memberitahu Nabi dan
membimbingnya. Ada juga Hadis Qudsi yang merupakan berita dari Allah kepada Nabi
dan Nabi menyampaikan lafaznya sesuai dengan ucapan Nabi sedangkan Al-Qur’an
merupakan lafaz dan maknanya dari Allah seluruhnya.
Kesimpulannya : Al-Qur’an merupakan
kalam Allah bukan perkataan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam. Allah
berfirman dalam Q.S Yunus ayat 38 : “Apakah
pantas mereka mengatakan dia (Muhammad) yang telah membuat-buatnya? Katakanlah,
“Buatlah sebuah surah yang semisal dengan surah (Alquran), dan ajaklah siapa
saja di antara kamu orang yang mampu (membuatnya) selain Allah, jika kamu
orang-orang yang benar.” Dan dalam Q.S Al-Baqarah ayat 24, Allah
berfirman : “Jika kamu tidak mampu membuatnya, dan (pasti) tidak akan mampu,
maka takutlah kamu akan api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang
disediakan bagi orang-orang kafir.”
Komentar
Posting Komentar