Metode Mempelajari dan Memahami Ilmu Pengetahuan dalam Islam


Oleh : Rabiul Rahman Purba, S.H

 

Rocky Gerung merupakan tokoh Indonesia, Filsuf atau Intelektual terkenal dengan pemikirannya yang luas dan menguasai berbagai ilmu dan pengetahuan sehingga banyak orang menjulukinya “Profesor (Guru Besar)” walau ia menyatakan hanya sampai ia hanya menyelesaikan studi strata satu dan pernah menjadi Dosen Universitas Indonesia (UI). Kelebihan Rocky Gerung yang sulit ditandingi orang lain khususnya Akademisi yaitu selain ia banyak membaca buku dari berbagai disiplin ilmu yang kebanyakan buku tersebut terbit di luar negeri, ia mampu mengeolah apa yang ia baca dengan gaya bahasanya sendiri dengan memukau dan logis, selain itu ia memiliki kesadaran yang tinggi akan nasib rakyat yang berada di bawah kekuasaan yang berupaya melemahkan demokrasi.

Tulisan ini tidak akan memuja dan memuji Rocky Gerung atau membahas sikapnya yang sering mengkeritik pemerintah tetapi pembahasan ini mengajak kita semua khususnya umat Muslim generasi muda untuk berupaya meneladani keilmuaan dan cara berpikir  seorang Rocky Gerung. Pertama yang wajib kita teladani dari Rocky Gerung adalah menguasai ilmu dan pengetahuan dan kedua yaitu merealisasikan ilmu. Kebanyakan kita sering mengartikan ilmu dan pengetahuan merupakan satu kesatuan padahal sejatinya ilmu dan pengetahuan dua hal yang berbeda. Berikut pembahasannya.

   I.Ilmu dan Pengetahuan

Prof. Dr. S.I Poeradisastra dalam bukunya “ Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Peradaban Modern” menjelaskan secara rinci perbedaan ilmu dan pengetahuan. Menurutnya, ilmu merupakan pengetahuan yang telah disestematikan yakni disusun teratur mengenai suatu bidang tertentu yang jelas batas-batasnya mengenai sasaran, cara kerja dan tujuannya sedangkan pengetahuan adalah kumpulan fakta-fakta yang saling berhubungan satu sama lain mengenai sesuatu hal tertentu dan kadang-kadang belum ketat diikat oleh suatu kesamaan cara kerja yang disebut metodologi dan merupakan satu disiplin ilmiah.

Bagi ilmu tidak cukup hanya perenungan dan pendalaman pikir saja melainkan mesti berkembang melalui penyerapan indra, pengumpulan data, penimbangan, pengukuran, penakaran, meningkat dari data tentang hal-hal khusus kepada suatu kesimpulan yang umum (induksi) dan sebaliknya dari yang umum kepada yang khas (deduksi).

Ilmu dan pengetahuan harus bersanding dan dimiliki seorang Muslim. Cara mendapatkan ilmu dan pengetahuan tidak cukup dengan menyelesaikan sekolah Dasar hingga strata (sarjana).  Sarjana diartikan sebagai orang yang lulus dari perguruan tinggi dengan membawa gelar. Jumlahnya banyak karena setiap tahun universitas memperoduksi sarjana. Untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan menurut Prof. Dr. Jalalludin Rakmat dalam bukunya “Islam Alternatif”  yaitu Al-Qur’an dan sunnah, alam semesta,diri manusia, dan sejarah umat manusia dan berikut pembahasannya;

1.      Al-Qur’an dan As-Sunnah

Al-Qur’an dan Sunnah keduanya merupakan sumber pertama ilmu dan pengetahuan. Al-Qur’an berulang kali mengingatkan agar kita umat-Nya memikirkan ayat-ayat Allah dengan mengambil pelajaran darinya serta mengingatkan kita untuk mengambil Rasul sebagai contoh. Al-Qur’an bukan hanya sebagai kitab suci dalam artian diperlakukan istimewa tetapi Al-Qur’an harus dijadikan sebagai landasan ilmu dan pengetahuan. Jika kita kembali sejarah islam, para Ulama dan Ilmuwan terdahulu menciptakan dan mengembangkan ilmu dan pengetahuan karena berdasarkan telaah mereka atas ayat-ayat Allah yang bersifat Kauniyyah (alam semesta). Beda halnya dengan saat ini banyak orang-orang Muslim yang mempelajari dan mendalami Al-Qur’an hanya sebatas gramatikal ayat demi ayat, mengkaji ilmu saraf dan nahu, berlomba-lomba menghafalnya agar dikatakan sebagai Hafiz Qur’an.

Perintah pertama Allah dalam Al-Qur’an adalah Iqra (Membaca) bahkan Nabi yang seorang Ummiy (buta huruf) sekalipun harus menerima perintah Tuhan untuk baca !. Setelah perintah Tuhan selanjutnya pada Nabi yang buta huruf adalah menulis. Prof. Ziauddin Sardar, pakar Futurologi dari Inggris dalam bukunya “ Reading The Qur’an : The Contemporary Relevance of The Sacred text of Islam” menyebutkan membaca dan menulis itu penting bukan hanya bagi masyarakat terdidik yang hendak dibangun Al-Qur’an melainkan juga menciptakan kebudayaan, menghasilkan pengetahuan baru dan jadinya membangun peradaban dinamis yang maju dan menanamakan pemikiran kritis kepada manusia.Dalam Al-Qur’an Surah Ibrahim ayat 26 disebutkan :

وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ ٱجْتُثَّتْ مِن فَوْقِ ٱلْأَرْضِ مَا لَهَا مِن قَرَارٍ

 

Arab-Latin: Wa maṡalu kalimatin khabīṡating kasyajaratin khabīṡatinijtuṡṡat min fauqil-arḍi mā lahā ming qarār. Artinya: Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun.

Lebih lanjut Prof Ziauddin Sardar menyatakan kalimat dan tulisan yang baik bukan hanya bentuk penghiburan dan alat untuk mengkomunikasikan pikiran, pengalaman, hikmah dan pengetahuan dari satu individu ke individu, generasi ke generasi dan dari satu budaya ke budaya lain. Akan tetapi kalimat yang baik tidak bisa dibaca sembarangan. Kita perlu membaca dan mengevaluasi apa yang kita baca. Tanpa kesadaran kritis, kita tidak bisa mendapatkan makna terbaik. Al-Qur’an menyampaikan bahwa membaca merupakan latihan menafsir.

Ziauddin Sardar berkata, pada saat ini tingkat melek huruf di banyak negera muslim teramat rendah terutama di kalangan wanita kaum beriman. Tidak boleh dalih apapun untuk membenarkan kekacauan ini karena pusat-pusat penelitian dan pendidikan dengan mudah diakses dan gratis. Namun kemuduran dan kekacauan ini penyebabnya adalah pemujaan kaum Muslim terhadap bentuk lisan Al-Qur’an, kita senang mendengar anak muda membaca Qur’an atau menghafalnya tetapi hal itu menjadikan kita berpandangan tidak perlu membaca dan menulis. Penyebab lain kemunduran umat Islam karena adanya warisan kolonialisme dan ketegangan antara tradisi dan modernitas.

   Kebudayaan melek huruf, kebudayaan buku tidak begitu diapresiasi di banyak masyarakat muslim. Para penulis buku memiliki kebiasaan yang tidak populer dan tidak menguntungkan. Keperdulian memajukan pengetahuan dianggap ancaman terhadap kekuasaan. Mengatasi buta huruf merupakan tugas utama masyarakat Muslim saat ini kata Ziauddin Sardar. Kalau kita lihat perbandingan antara minat baca penduduk mayoritas Muslim saaat ini dengan era terdahulu itu sangat jauh.

 Sebagai contoh para pendiri bangsa Indonesia seperti Mohammad Natsir, Ir. Soekarno, Buya Hamka, itu mereka semua adalah penggemar baca buku, berbeda dengan generasi saat ini. Dalam konteks Rocky Gerung, dalam wawancara di media Tempo, ia mengaku memiliki koleksi 20 ribu buku. Pertanyaan besarnya adalah apakah ada ulama/sarjana kita yang membaca buku ilmiah kita yang telah membaca sebanyak itu ? inilah tugas berat kita untuk menciptakan generasi memiliki minat tinggi membaca buku yang mengandung ilmu dan pengetahuan. Untuk menjawab tugas ini maka perlunya seperti Masjid setiap daerah menyajikan buku/kitab dan membangun perpustakaannya sendiri serta menarik minat baca generasi kita.

2.        Alam Semesta

Selain membaca buku atau kitab-kitab dan menuliskannya, sumber ilmu dan pengetahuan adalah alam semesta. Al-Qur’an menyuruh kita memikirkan keajaiban ciptaan Allah (Q.S 13 : 2-5), Penciptaan bumi dan lautan (Q.S 16 : 14-18), hujan dan halilintar (Q.S 30:24) dan langit dan bintang-bintang (Q.S Q.S 50:6) dan lainnya. Dr. KH Jalaluddin Rakhmat berkata bahwa Al-Qur’an menunjukan hal-hal di alam semesta yang semesta yang harus diteliti yaitu materi yang mendasar penciptaan (Q.S 86:5, Q.S 24 : 45, Q.S 76 : 2), Peroses penciptannya sendiri (Q.S 23: 12-14), peroses perubahan fenomena alam (Q.S 39 :21) dan hubungan manusia dengan alam.

Dr. Muhammad Iqbal (Filsuf, Penyair dan Pendiri Pakistan) berkata bahwa dewasa ini manusia manusia membutuhkan tiga hal, pertama, interpertasi spritual tentang alam semesta, kedua, kemerdekaan spritual dan ketiga, prinsip-prinsip pokok yang memiliki makna universal yang mengarahkan evolusi masyarakat manusia dengan berbasiskan rohani. Murthada Mutahari, Filsuf terkemuka dari Iran dalam bukunya “ Manusia dan Alam Semesta” menyebutkan dari sudut pandang Islam, sumber pengetahuan adalah tanda-tada alam atau tanda-tanda yang ada di alam semesta semesta, yang ada dalam diri manusia sendiri, dalam sejarah, dan berbagai peristiwa sosial dan dalam catatatan yang diwariskan umat-umat terdahulu.

3.   Diri Manusia (Anfus)

Diri manusia adalah sumber ketiga ilmu. Allah berfirman “ Hendaklah manusia memeperhatikan dari apa Ia diciptakan” (Q.S 86 : 5). Dalam diri manusia adanya pengetahuan yang diperoleh lewat ta’qqul, tafaqquh, dan tadzakkur (merenungkan, memikirkan, memahami dan mengambil pelajaran). Setelah ilmu dan pengetahuan dapat diperoleh lewat indrawi dalam diri manusia, maka selanjutnya adalah pengetahuan akal. Ibnul Qayyim Al-Juaziyah dalam bukunya “Madarij as-Salikin” menyebutkan ada tiga macam ilmu yaitu ilmu jali yaitu terdiri atas pengetahuan dan akal dan ilmu khafi yaitu yang diperoleh melalui Riyadah yang ikhlas dan tumbuh di batin yang bersih dan badan yang suci dan ketiga, ilmu laduni yang diberikan Allah langsung tanpa perantara.

Seperti yang disebutkan di atas, ilmu jali yang terdiri atas pengetahuan dan akal ini terhadap orang yang mampu menguasainya disebut Allah dalam Al-Qur’an sebagai Ulil Albab (orang-orang berakal). Allah berfirman :

 

إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَءَايَٰتٍ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ

 

Arab-Latin: Inna fī khalqis-samāwāti wal-arḍi wakhtilāfil-laili wan-nahāri la`āyātil li`ulil-albāb. Artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (Q.S Al-Imran ayat 190). Akal dalam ilmu dan pengetahuan ini kemudian bermanifestasi dalam wujud yang dikenal sebagai logika dan filsafat. Logika menurut Ibnu Khaldun dalam bukunya “Muqaddimah” merupakan kaidah-kaidah yang memungkinkan seorang mampu membedakan antara yang benar dan yang salah, di mana keduanya dalam definisi yang memberi informasi tentang isi segala sesuatu (mahiyat) dan dengan alasan yang bermanfaaat bagi presepsi.

Ibnu Khaldun berkata, dasar persepsi adalah sensibila yang diterima melalui pancaraindra. Allah memberi manusia kemampuan untuk berpikir karena dengan pikirannya dia menerima ilmu-ilmu pengetahuan dan keahliannya. Kemampuan manusia untuk berpikir dimulainya persoses baik melalui cara yang benar ataupun melalui cara yang salah. Kemampuan berpikir pada manusia mengadakan seleksi dalam usahanya untuk memperoleh pengetahuan  yang dicarinya dengan ketajaman/kecermatan,supaya manusia itu dapat membedakan yang benar dan salah.

 Ibnu Khaldun menyebut peroses ini sebagai hukum logika (Qanun-L-Manthiq). Aristotles dari Yunani orang pertama yang menciptakan metode-metode dan sistematis serta uraian-uraian ilmu logika. Karyanya tentang logika diberi judul “ Organon”. Para Ulama dan sarjana muslim muktahir menyebut logika dengan sebutan “Manthiq”. 

Prof. Dr. IR. Poedjawijatna dalam bukunya “Logika Filsafat Berpikir” menjelaskan bahwa objek format logika ialah mempelajari teknik berpikir untuk mengetahui bagimana manusia dapat berpikir sebagaimana mestinya. Menurutnya, dalam ilmu logika, bahasa itu harus mencerminkan maksud setepat-tepatnya. Bahasa itu menurut tujuannya ada dua yaitu bahasa ilmiah dan kesusatraan. Keduanya memiliki perbedaan satu sama lain. Bahasa ilmiah harus logis karena ilmu artinya pengetahuan dan tahu ini mengikuti aturannya sendiri yaitu logika.

Lebih lanjut, Prof IR. Poedjawijatna menyebutkan tugas logika ialah meneropong berpikir bukan untuk menyelidiki bahasa walaupun erat hubungan bahasa dengan logika karena bahasa adalah pencerminan dan alat berpikir. Dasar-dasar ilmu logika menurutnya adalah pertama, keyakinan maksudnya adalah ketika ia mengeluarkan pendapat (melalui bahasa) atas beberapa dasar, dasar itu disebut sebagai Aksioma berpikir. Setiap ia mengeluarkan pendapat atas pemikirannya, ia harus yakin terhadap pendapatnya. Kedua, kepastian yaitu jika orang telah mempunyai keyakinan maka ia merasa pasti akan pengetahuannya, ia mempunyai kepastian.

Setelah logika,  manifestasi akal dalam manusia yaitu Filsafat atau falsafah. Menurut Drs. H.A Mustofa dalam bukunya “ Filsafat Islam ”, filsafat artinya adalah cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran atau pengetahuan. Filsafat adalah hasil akal seseorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamya. Banyak orang mempelajari ilmu filsafat Barat dan Timur namun ia tidak menguasai jalan berpikir filsafat sehingga kita banyak dapati para filsuf Muslim saat ini masih mengikuti jalan pikir filsuf muslim abad yang lampau, dimana mereka masih mendalami filsafat ketuhanan dan keakhiratan (Paritatetik) sehingga tidak punya jalan pikiran baru yang membawa pada kecerahan pemikiran masyarakat muslim dan disisi lain yang mempelajari filsafat Barat hanya pada filsafat materialisme seperti etika dan tingkah laku manusia, akal manusia namun sisi religiusnya hampa.

Tujuuan berpikir filsafat bukan hanya untuk berpikir akan alam semesta dan penciptanya sehingga melahirkan teori-teori semata tetapi bagaimana merenungi ciptaan Tuhan sehingga dari hal tersebut tercipta berbagai gagasan yang membawa kemajuan besar bagi masyarakat (teori) kemudian dari teori itu melahirkan pengamatan dan penelitian serta merelisasikannya dalam kehidupan secara arif dan bijaksana. Lantas bagaimana metode berpikir filsafat ?  Prof. Dr. IR Poedjawijatna dalam bukunya “Logika Filsafat Berpikir” menyebutkan ada dua jalan pikiran berfilsafat yaitu pertama Induksi yaitu jalan pikiran yang berdasarkan hasil pengetahuan dan pengalamannya.  Induksi ini dibagi atas induksi sempurna dan tidak sempurna namun itu tidak akan dibahas detail di tulisan ini. Kemudian kedua deduksi yaitu jalan pikiran dari hasil pemikiran induksi yang telah berlaku di masyarakat kemudian dari hal tesebut akan muncul kesimpulannya sendiri.

Selanjutnya, selain ilmu jali yang termanifestasikan dalam bentuk logika dan filsafat, ada ilmu kahfi dan laduni. Untuk mendapatkan ilmu kahfi dan laduni maka yang harus dilakukan adalah membersihkan jiwa (Nafs) dan Qalbu, Aql (akal) dari sifat iri, hasut, takabur, sombong, rakus/tamak, maka Allah akan menyingkap rahasia-rahasia ilmu dan pengetahuan kepadanya berupa ilham dan hikmah.

Dalam Hadis sahih yang diriwayatkan Muawiyah bin Abu Sufyan, Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam Bersabda : “ Jika Allah menghendaki kebaikan pada seseorang maka Allah akan menjadikannya pandai dalam ilmu pengetahuan”. Dalam Islam, orang yang mendapatkan anugerah Tuhan keistimewaan berupa ilham dan hikmah karena kebersihan jiwanya disebut sebagai Ulama (Intelektual). Untuk mendapatkan ilham ini menjaga kebersihan cara berpikir dan jiwa dan untuk mendapatkan ilmu hikmah ini menurut Maulana Muhammad Zakariya Al-Khandhalwi dalam bukunya “Fadilah Amal” yaitu dengan Qiyamul Lail (Shalat Malam).

 II.     Relisasi Ilmu dan Pengetahuan

Setelah meraih ilmu dan pengetahuan maka selanjutnya adalah merealisasikan ilmu dan pengetahuan yang diperolehnya untuk melaksanakan fungsinya sebagai Khalifah yaitu menciptakan kebaikan dan berupaya menghancurkan kebatilan sehingga tercipta keadilan sesuai apa yang dikehendaki oleh Allah. Tugas pertama, orang yang berilmu dan berpengetahuan adalah mencerdaskan manusia sehingga  sisi-sisi watak serigala dalam diri manusia musnah. Dan tugas ini teramat berat karena yang akan dihadapinya kekusaan orang yang berkuasa tetapi menjadikan kekuasannya sebagai berhalanya, seperti yang dikatakan Prof. Dr.Yusuf Al-Qardhwai dalam bukunya “Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid III”.

Penyebab utama terjadinya ketidakteraturan kehidupan umat manusia yaitu banyaknya manusia yang menjadi pemimpin yang memegang kekuasaan yang hal itu membuat dirinya menciptakan aturan-aturan hukum/kebijakan yang melanggar hukum-hukum Allah dan batasan-batasan yang ditetapkan Allah. Bagimana-pun pintar dan cerdasnya seorang pemimpin atau pemegang kekuasaan, ia pasti membuat hukum berdasarkan nafsu syahwaniyah dan nafsu ghadabhiyah-nya.Oleh karenanya dalam konteks hukum, Tuhan sendiri yang menciptakan hukumnya untuk manusia agar tercapai kedamaian dan kesetabilan.

Nah tugas seorang berilmu dan berpengetahuan yaitu menjadi bayang-bayang Tuhan dalam menegakan keadilan dan mengingatkan penguasa agar berkuasa dengan adil. Malangnya orang-orang berilmu dan berpengetahuan ini banyak yang ikut ternoda karena ia menguasai ilmu jali namun tidak dengan ilmu kahfi dan ilmu laduni akibatnya mereka banyak tidak menjalankan fungsi intelektualnya. Dan ini bukan hanya melanda Dunia Muslim tetapi juga melanda Barat sehingga mereka memisahkan kekuasan agama dan negara untuk membatasi kekuasan para ahli ilmu agama mereka sibuk memperkaya diri mereka atas nama institusi agama.

Di Dunia Islam, yang cukup keras agar ahli ilmu ikut menegakan amar ma’ruf nahi mun’kar ini diantaranya Ibnu Taimiyah, Imam Al-Ghazali, Abdul Qadir Al-Jilani dan As-Surawardhi, dan banyak ahli ilmu yang berada di jalan lurus-lainnya. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin mengingatkan para ahli ilmu agar menjauhi pribadi yang tidak memikirkan da mencerdaskan rakyat. Imam Al-Ghazali berkeyakinan bahwa umat Islam bertanggung jawab untuk bangkit agar dapat menghadapi amar ma’ruf nahi mungkar.

Karen Amstrong dalam bukunya “Muhammad Sang Nabi” menyebutkan bahwa setelah masa Khulafa Ar-Rasyidin, umat Islam harus dipimpin orang-orang yang tidak adil dan tidak memikirkan rakyat dan bangsa. Dan kalau kita lihat hampir semua negera-negara Muslim mengalami ini. Ahmed T Kuru, Ph.D, pakar politik dan Direktur Center For Islamic and Arabic Studies di Amerika Serikat alam bukunya “ Otoritariasme dan Ketertinggalan” menyatakan bahwa pada abad ke 7-11 Masehi, sebagian besar golongan ulama dan cendikiwan Muslim yang mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan adalah sosok independen, mereka bukanlah bagian dari birokrasi pemerintah tetapi abad ke 11 Masehi, terjadi perubahan dalam berbagai aspek. Ulama jadi bagian birokrasi negara yang berkolaborasi dengan militer.

Dengan kata lain para ahli ilmu yang seharusnya terdepan beramar ma’ruf nahi mungkar berubah menjadi pelayan atau pembantu kekuasaan. Dalam konteks Indonesia saat ini, fungsi menegakan kebaikan, keadilan dan mengingatkan kekuasaan agar tidak menginjak hukum-hukum Tuhan dan menjauhi kerusakan akibat tangan-tangan orang berkuasa yang seharusnya diambil semua ahli ilmu Muslim sekarang dijalankan  seperi Rocky Gerung, dan tokoh ahli ilmu lainnya yang jumlahnya tidak banyak.

Seseorang yang telah mendapatkan ilmu dan pengetahuan ketika ia tidak merealisasikannya untuk kemajuan bangsa dan amar ma’ruf nahi mungkar maka Allah akan memberikan mencabut keberkahan ilmu yang diperolehnya dan di alam akhirat ia akan temasuk orang yang durhaka kepada Tuhan dan umat.

Kesimpulannya : Rocky Gerung merupakan seorang Intelektual yang menyadarkan kita bahwa kita sebagai Muslim yang telah diberikan Allah metode memperoleh ilmu dan pengetahuan, kita harus menjadi orang yang berilmu dan pengetahuan. Ilmu dan pengetahuan diperoleh dari sumber Al-Qur’an dan Sunnah, Alam raya, diri manusia. Setelah manusia mendapatkan ilmu baik ilmu jali, kahfi dan laduni maka ia akan mendaptkan status sebagai ahli ilmu (Ulama/Intelektual) yang memiliki misi berat yaitu merealisasikan ilmunya di masyarakat dan beramar maruf nahi mungkar untuk mewujudkan keadilan, sesuai perintah Allah dalam Al-Qur;an Surah An-Nahl ayat 90 : Innallāha ya`muru bil-'adli wal-iḥsāni wa ītā`i żil-qurbā wa yan-hā 'anil-faḥsyā`i wal-mungkari wal-bagyi ya'iẓukum la'allakum tażakkarụ

.Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. Saran :  Kita sebagai generasi muda khususnya gen z, harus memiliki semangat tinggi dalam mempelajari ilmu agama dan ilmu umum karena jalan untuk meraih rahmat-Nya dan kemanfataan untuk bangsa dan negara adalah dengan berilmu dan berpengetahuan. Tumbuh kembangkan minat membaca ilmiah, membaca alam, bertafakur, menanamkan sikap berpikir dan berjiwa besar sehingga benar-benar menjadi ahli ilmu (Ulama/Intekektual) bukan sekedar sarjana yang berjibaku meraih gelar akademik agar terpenuhi kebutuhan hidup namun kehilangan akan kebutuhan akan Tuhan dan kemanfataan terhadap umat. TERIMAKSIH.

 

 

                            

 

 

 

 

 

 

]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Umat Kristen Pada Masa Nabi Muhammad SAW

Shafiyyah binti Huyaiy Istri Rasulullah Berdarah Yahudi

Mengapa Bangsa Arab Meninggalkan Palestina Menurut Karen Amstrong ?