Menyingkap Rahasia Tauhid dalam Islam
Firman
Allah dalam Q.S Al-Baqarah ayat 163 :
وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ
وَٰحِدٌ ۖ لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلرَّحْمَٰنُ ٱلرَّحِيمُ
Arab-Latin: Wa ilāhukum
ilāhuw wāḥid, lā ilāha illā huwar-raḥmānur-raḥīm. Artinya: Dan
Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang.
Ayat ini
berkaitan dengan Tauhid dalam Islam. Selain Q.S Al-Baqarah ayat 163 terdapat
beberapa ayat lainnya dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan Tauhid yaitu Q.S
Al-Insyirah ayat (8), Q.S Al-Qasas ayat 88, Q.S Al-Anbiya ayat 25, Q.S
Al-Ikhlas, dan surat lainnya. Hal tersebut membuktikan pentingnya kedudukan
Tauhid dalam agama Islam yang harus diterapkan bagi seorang Muslim. Segala tindakan
ataupun perbuatan khususnya dalam ibadah kepada Allah mesti dilandasi dengan
Tauhid.
Tauhid dalam Islam
Tauhid berasal dari bahasa Arab
yaitu Wahhada Yuwahhidu yang artinya menurut Syaikh Muhammad bin
Shalih al-Utsaimin adalah menafikan segala sesuatu selain sesuatu yang kita
jadikan satu saja kemudian baru menetapkannya. Maksudnya adalah mengakui dan
meyakini dalam lisan, Qalbu (Hati), Nafs (Jiwa) dan Aql
(Pikiran) akan ke-Esaan Allah dan menjadikan Allah satu-satunya yang disembah
serta mengabdikan seluruh hidup hanya pada Allah. Sebagaimana dalam Firman
Allah :
اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُۗ
Arab-Latin : Iyyakana’budu Wa
Iyyakanas’ta’iyin. Artinya :Hanya kepada Engkaulah kami menyembah
dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. (Q.S Al-Fatihah ayat 5).
Tingkat-Tingkatan Tauhid
Imam Murthada Muthathari dari Iran dalam bukunya “Manusia dan
Alam Semesta” membagi Tauhid ke dalam beberapa tingkatan. Diantaranya
adalah,
1.
Tauhid Dzat Allah
Tauhid Dzat Allah maksudnya adalah meng-Esakan Dzat Allah. Meyakini dalam jiwa bahwa Allah adalah
tidak bergantung kepada siapapun. Segala sesuatu bergantung kepada-Nya dan
membutuhkan pertolongan-Nya. Dalam QS Fathir ayat 15, Allah berfirman : “
Hai manusia, kamulah yang membutuhkan Allah. Dan Allah, Dia-lah yang Maha Kaya
(tidak membutuhkan apapun ) lagi Maha Terpuji”.
Untuk sampai pada tingkatan meyakini Dzat Allah maka terlebih
dahlu kita haru mengenal Allah tanpa mengenal Allah, seseorang dapat terjerumus
dalam kekufuran. Ketika Abu Bakar
Assidiqie radiallahuanhu ditanya “Bagaimana Engkau mengenal Tuhan-mu
?”. Beliau menjawab “ Aku mengenal Tuhan melalui Tuhanku, seandainya Dia tak
ada, aku tak mengenal-Nya”. Selanjutnya ketika ditanya, “Bagiamana Anda
mengenal-Nya?. Beliau menjawab : “ Al’ajezu ‘Anil Idraki Idraku (Ketidakmampuan
mengenal-Nya adalah pengenalan”.
Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab (Ulama Indonesia) dalam bukunya
“ Menyingkap Tabir Illahi” menyebutkan bahwa sebagai mahlul berakal, kita tidak
dapat memahami atau mengenal sesuatu yang mengabaikan cara yang selama ini
terbiasa kita tempuh, yakni mengaitkannya dengan sesuatu yang bersifat material
agar dengan demikian pengenalan menjadi hidup dan terasa. Tanpa cara tersebut
kita tidak dapat memahami dan mengenal-Nya.
Al-Qur’an memperkenalkan
Tuhan dengan cara yang mengagumkan. Allah tidak diperkenalkan sebagai sesuatu
yang bersifat materi karena jika demikian pastilah Dia berbentuk dan bila
berbentuk pastilah terbatas dan membutuhkan tempat padahal Tuhan tidak
membutuhkan sesuatu. Al-Qur’an juga tidak memperkenalkan Tuhan sebagai sesuatu
yang bersifat immaterial yang tidak dapat diberi sifat atau digambarkan dalam
keadaan yang tidak dapat dijangkau akal manusia.
Karena itu Al-Qur’an menempuh cara pertengahan dalam
memperkenalkan Tuhan. Tuhan menurut Al-Qur’an antara lain Maha Mendengar, Maha
Melihat, Maha Hidup, Berkehendak, Menghidupkan dan Mematikan dan Ar-Rahman
(Allah) bersemayam di atas Arsy dan dalam Q.S As-Syura ayat 11
disebutkan : “ Tiada yang serupa dengan-Nya dan Dia lagi Maha Mendengar dan
Maha Melihat”.
Imam Ali bin Abu Thalib pernah ditanya oleh sahabatnya Zi’lib
Alyam’ani. Zi’lib berkata : “ Amirulmukminin apakah engkau pernah melihat
Tuhanmu ?”. Imam Ali menjawab : “Apakah aku menyembah apa yang tidak aku
lihat ?. Zil’ib bertanya : “ Bagaimana engkau melihat-Nya ?”. Imam
Ali menjawab : “ Dia tidak dapat dilihat dengan pandangan mata tetapi
dijangkau oleh akal dengan hakikat keimanan”.
2. Tauhid dalam Sifat-Sifat Allah
Allah memiliki segala sifat yang menunjukan kesempurnaan,
keperkasaan dan keindahan. Seluruh sifat-sifat Allah yang tercantum dalam
Al-Qur’an dan Hadis sering disebut juga sebagai Al-Asma Al-Husna. Dalam
berbagai riwayat disebutkan Al-Asma Al-Husna berjumlah sembila puluh
sembilan.
Satu riwayat berbunyi “Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama (100
kurang satu) maka siapa yang ‘AHSHAHA’ (mengetahui/menghitung/memeliharanya)
maka dia masuk surga”. (H.R Imam Bukhari, Imam Muslim, Attirmidzy, Ibnu
Majah dan Imam Ahmad). Dalam penelitian Ulama lain seperti Muhammad Husain
At-Thabathba’i dalam kitab tafsirnya “Al-Mizan” menyebutkan jumlah Al
Asma Al-Husna berjumlah 127.
Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab menyatakan bahwa maksud ‘Ahshaha’
hadis di atas yaitu memahami maknanya dan mempercayainya atau mampu
melaksanakan kandungannya (Berahlak dengan nama-nama Allah itu). Al-Qur’an
secara tegas menyatakan agar berdoa dengan
menggunakan Al-Asma Al-Husna, beribadahlah dengan memperhatikan makna tersebut
dan berahlaklah dengan ahlak nama-nama Allah tersebut. Keberhasilan
meneladani Tuhan dalam sifat-sifat-Nya adalah keberhasilan dalam keber-agamaan.
Perlu diingat bahwa meneladani sifat-sifat
Allah tersebut bukan berarti semacam persamaan antara Manusia
dengan Tuhan yang dikenal sebagai “Wahadatul Wujud/Manunggaling Kaulagusti”,
karena Allah bersifat Azaly dan Qadim, serta memiliki
kesempurnaan mutlak, berbeda dengan mahluk. Para pakar khsusunya Ulama
berpemahaman Tasawuf berpendapat keberhasilan meneladani Tuhan dalam
sifat-sifat-Nya diraih dengan bertahap.
Pertama, meningkatkan
ma’rifat melalui pengetahuan dan ketaqwaan. Kedua, membebaskan diri dari
perbudakan syahawat dan hawa nafsu. Ketiga, menyucikan jiwa dengan jalan
berahlak dengan Ahlak Allah.
Salah satu sifat Allah dari sekian banyak
sifatnya yang senantiasa ditekankan agar kita melaksanakannya adalah “Berkasih
Sayang Terhadap Semua Mahluk dan Alam Raya”.Oleh sebab itu setiap tindakan
kita diperintahkan membaca “Basmalah”. Jadi, mengimplementasikan Tauhid Sifat-sifat Allah berarti berahlak
dengan ahlak yang disukai Allah seperti penyanyang, sabar, pengasih.
3.
Tauhid dalam Perbuatan Allah
Imam Murthada Muthahari dari Ulama dari Iran
menyatakan Tauhid dalam perbuatan Allah adalah mengakui bahwa alam semesta
dengan segenap sistemnya, jalannya, sebab dan akibatnya, merupakan perbuatan
Allah saja dan terwujud karena kehendak-Nya. Di alam semesta ini tidak ada
satupun yang ada sendiri. Allah adalah Tuhan (Illah) yang memelihara alam
semesta. Manusia merupakan satu di antara mahluk yang ada dan karena itu
merupakan ciptaan Allah.
4.
Tauhid
dalam Ibadah
Tauhid ibadah adalah hanya menyembah
dan beribadah kepada Allah. Prinsip Tauhid Ibadah ada dua yaitu Tauhid Uluhiyah
dan Tauhid Rububiyah. Tauhid Rububiyah
artinya adalah meyakini hanya Allah satu-satunya pencipta, pengendali alam
raya. Syekh Abdul Qadir al Jilani dalam kitabnya “Fath Al-Mughib”
menyatakan bahwa Tauhid Rububiyah mengisyaratkan supaya manausia melihat
ayat-ayat ciptaan Allah, baik yang terpancar dalam jiwa maupun alam semesta.
Sedangkan Tauhid Uluhiyah adalah
mengesakan seluruh bentuk ibadah kepada Allah. Mengenai Tauhid Uluhiyah, Syekh
Abdul Qadir Al-Jailani berkata, barangsiapa yang memeluk agama Islam maka wajib
baginya mengucapkan kalimat tauhid dan berlepas diri dari semua agama selain
Islam karena kalbunya berkeyakinan bahwa Allah itu Maha Esa. Firman Allah :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعْبُدُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُمْ وَٱلَّذِينَ
مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Arab-Latin: Yā ayyuhan-nāsu'budụ
rabbakumullażī khalaqakum wallażīna ming qablikum la'allakum tattaqụn. Artinya:
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang
sebelummu, agar kamu bertakwa, (Q.S Al-Baqarah ayat 21).
Sayyid Mohammad Husayni Beheshti
dalam bukunya “ Tuhan Menurut Al-Qur’an; Sebuah Kajian Metafisika”
menyebutkan bahwa tauhid berarti keyakinan akan realitas tunggal yang dalam
konteks teologi disebut sebagai ke-Esaan Allah. Tauhid ibadah maksudnya adalah
ketaan kepada satu tuhan yakni Allah. Seorang Muslim yang menerapkan Tauhid
ibadah maka segala tindakan harus senapas dengan jalan yang ditetapkan Allah
untuknya.
Kesimpulan : Tauhid berarti
mengesakan Allah dan sebagai konsekuensinya maka ia harus menerapkan tauhid
ibadah dan tauhid perbuatan sehingga ia menjadi inasan yang taqwa.
Komentar
Posting Komentar