Gerakan Reformis Islam Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Namanya adalah Abdul Qadir bin Abu Shaleh Musa Janki Dusat bin Abu Abdilah bin Yahya Az-Zahid bin Muhammad bin Daud bin Musa bin Abdillah bin Musa Al-Jauni bin Abdillah Al-Mahadh. Sililah nasabnya bersambung sampai Imam Ali bin Abi Thalib. Ia lahir di daerah Jailan yang terletak di Tiberistan. Dia lahir tahun 471 H.
Syaikh Abdul Qadir Jailani meninggalkan daerahnya Jailan dan masuk Baghdad pada tahun 488 H, sementara usianya baru menginjak delapan belas tahun. Di Baghdad, Abdul Qadir Jailani bertemu dengan sejumlah Ulama terkemuka dan menimba ilmu pada mereka. Imam Adz-Dzahabi mengatakan “Abdul Qadir Al-Jailani adalah seorang Ulama yang zuhud, makrifat dn menjadi teladan, dia adalah syaikhul Islam dan ilmu para wali.
Selanjutnya, Ibnu Taimiyah berkata “Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani termasuk guru paling agung kredibilitasny pada zamannya sebab mematuhi syariat, melaksanakan amar makruf nahi mungkar, mendahulukan dzauq dan qadar, dia adalah guru paling agung sebab meninggalkan hawa nafsu dan keinginan”. Ibnu Taimiyah juga berkata “ Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dan para guru-gurunya yang lain adalah ahlu istiqamah dan orang yang berjalan menuju Allah”.
Metodologinya dalam Menjelaskan Akidah
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani telah menguraikan akidahnya dengan jelas. Ibnu Rajab dalam kitabnya “Dzail Thabaqat Al-Hanabilah” menyebutkan bahwa Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani senantiasa berkata dalam ceramah-ceramahnya “Akidahku adalah akidah Salafussaleh dan akidah yang dianut Sahabat Nabi Saw”.
Dalam mendefinisikan iman, ia berkata “Aku berkeyakinan, iman adalah perkataan yang diucapkan lisan, diyakini kalbu dan diamalkan anggota badan”. Selanjutnya, Syaikh Abdul Qadir Al Jailani menolak Takwil kaum Mutakalimin. Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani mengutip perakataan Imam Ahmad yang mengatakan “ Aku bukanlah pengikut ilmu kalam dan aku tidak melihat celah sedikit pun untuk membahas urusan ini, kecuali keterangan yang disebutkan Allah dalam kitab suci-Nya atau Hadis yang bersumber dari Nabi, keterangan yang bersumber dari para sahabat Nabi atau dari Tabi’in”.
Mengenai Takwil, ia berkata dalam kitabya “Al-Ghunyah” : “Hendaklah memutlakan sifat Al-Istiwa tanpa mentakwilkannya. Sesungguhnya ia adalah Istiwa’ Dzat di al-‘urdh (not fisik), bukan duduk dan terjadi kontak yang saling persinggungan seperti takwil yang dikatakan kaum Mujjasimah dan Al-Karamiyah, dan bukan pula menguasai seperti dikatakan takwil kaum Mu’tazilah, karena syariat tidak menyebutkan penjelasan yang demikian itu”.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani menyatakan bahwa sekedar mengucapkan kalimat Tauhid yang tidak diiringi dengan mematuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, maka ia tidak diterima dan manusia tidak dapat mengambil manfaat dari ucapannya. Ia juga mengatakan bahwa “Amal-amal ibadah yang dialksanakan akan diterima Allah jika dilaksanakan dengan ikhlas dan harus mengikuti Sunnah Rasulullah serta menjauhi meninggalkan beramal karena manusia sebab Al-Fudhail bin ‘Ayyad berkata “meninggalkan beramal karena manusia adalah riya’ dan beramal karena manusia adalah syrik”.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani juga mengingatkan dalam kitabnya “Futuh Al-Ghaib” agar beramal hendaknya mengikuti aturan syariat dan jangan menciptakan Bid’ah dlam urusan agama dan wajib bagi orang beriman mengikuti “Sunnah” dan “Jamaah”. Adapun Sunnah adalah segala sesuatu yang dilaksanakan Rasulullah, sedangkan jamaah adalah segala sesuatu yang disepakati para sahabat Rasulullah”.
Tasawuf Menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
_ Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani melegalkan metodologi tasawuf terintegerasi yang menggabungkan antara syariat yang didasarkan atas kitab Allah dan Sunnah Rasulullah dan praktik dalam bahasa perbuatan dan memetuhi syariat”. Ia mengatakan tasawuf adalah berperilaku jujur bersama Allah yang Hak dan berahlak mulia bersama mahluk, serta mematuhi syariat.
Orang Taswuf berwajah ramah, gemar menolong orang kesusahan, memelihara kehormatan guru, menjauhi dendam, ringan tangan membantu urusan agama dan urusan dunia, bermuamalah bersama teman dengan baik, serta meninggalkan permusuhan.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani memberikan perhatian khusus untuk memperebaiki tasawuf dan mengembalikannya kepada konsep zuhud, kemudian menggunakannya untuk memainkan peranannya dalam melayani Islam dan memperbaiki masyarakat.
Upaya ini terwujud dealam beberapa hal sebagai berikut : Membersihkan Taswuf dari Perkara-Perkara Baru. Perkara-perkara yang baru tersebut adalah penyimpangan dalam pemikiran dan praktik, kemudian mengembalikannya ke tugas aslinya sebagai madrasah pendidikan dengan tujuan utamanya adalah menamamkan nilai-nilai keikhlasan yang murni dan zuhud yang benar. Dua kitabnya “Al-Ghunyah li Thalibi Thariq Al-Haqq dan Futuh Al-Ghaib” merupakan kesimpulan pemikirannya dalam bidan ini.
Kitab yang kedua diisyaratkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Juz kesepuluh dari kitab Al-Fatawa yang dinamakan dengan kitab As-Suluk. Syaikh Abdul Qadir menyusunnya sebagai contoh zuhud yang didorong oleh Al-Qur’an dan Sunnah.
Selanjutnta, ia mermberikan kritikan terhadap kelompok Sufi yang ekstrikm yang memakai baju tasawuf namun mencoreng maknanya. Ia berkata “Sesungguhnya tasawuf datang dengan kejujuran dalam mencari Allah, zuhud di dunia dan menjauhkan diri dari menyembah selain Allah”. Ia juga mengkrtitik kelompok Sufi yang mendengarkan nyanyian dan syair yang tidak sesuai dengan Kitabullah dan As-Sunnah.
Kritikan Terhdap Ulama
Kebanyakan para Ulama pada zaman Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani saling bersaing untuk menempati mimbar-mimbar cermah di tempat yang masyhur, saling memfitnah di antara satu dengan yang lain di hadapan Khalifah, para Menteri dan pejabat negara. Dia antara mereka ada yang dikenal dengan ahlak yang buruk dan ada yang sibuk dengan permusuhan-permusuhan Madzhab.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani menyatakan kepada Ulama seperti itu “Wahai para pengambil dunia dari tangan-tangan para pemiliknya dengan jalan akhirat, wahai orang-orang yang bodoh akan kebenaran, kalian lenbih patut bertaubat daripada orang-orng awam, tidak ada kebaikan atas kalian”.
Selanjutnya pada 09 Rajab 546 H/1151 M, ia berkata dalam ceramahnya “Jika kamu memiliki buah ilmu dan berkah-berkahnya, maka kamu tidak akan pergi ke pintu para Sultan untuk memenuhi syahwat-syahwatmu. Seorang alim tidak memiliki dua kaki yang ia gunakan untuk bejalan menuju pintu-pintu mahluk, orang yang zuhud tidak memiliki dua tangan yang ia gunakan untuk mengambil harta manusia”.
Ia juga mengkritik orang yang fanatik terhadap madzhab. Ia mengatakan “ Diamlah dari kata-kata yang tidak ada manfaatnya, tinggalkanlah sikap fanatik terhadap madzahb dan sibuklah dengan sesuatu yang bermanfaat untuk dunia dan akhiratmu”.
Tidak hanya mengkeritik para Ulama, ia juga mengkritik para penguasa yang zalim. Pada tahun 541 H, Khalifah Al-Muqtafi mengangkat Yahya bin Said yang dikenal dengan Ibnu Al-Marjam sebagai Hakim. Hakim ini menganiyaya rakyat dan menerima suap.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berceramah di Masjid yang disitu ada Khalifah, ia berkata “Kamu mengangkat pejabat yang zalim terhadap kaum Muslimin. Apa jawabanmu besok disisi Tuhan semesta alam ?”. Khalifah pun memecat hakim tersebut.
Ikut Serta di Bidang Politik
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani banyak mendirikan Madrasah, diantaranya adalah Madrasah Al-Qadiriyah. Madrasah Al-Qadiriyah memainkan peranan penting dalam mengkader para pemuda yang meninggalkan wilayah-wilayah yang diduki pasukan Salib. Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani bekerja sama dengan Daulah Zankiyah untuk melakukan perlawanan terhadap pasukan Salib di negeri Syam.
Daulah Zankiyah mengirim para siaswa ke madrasah milik Syekh Abdul Qadir Al-Jailani untuk dijadikan pemuda-pemuda yang tangguh, pemuda yang mencintai Allah dan Rasull dan pemuda yang menjadi panglima perang. Selain pengkaderan para pemuda, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani juga mengirim Ibnu Naja Al-Wa’izh kepada Syaikh Utsman bin Marzuq Al-Quraisy yang merupakan pemimpin perlawanan Suni di Mesir. Ibnu Naja memainkan peranan penting untuk membuka konspirasi Daulah Fatimiyah terhadap Salahuddin Al Ayubi.
Sautu hal yang banyak masyarakat muslim abaikan adalah pernan besar Madrasah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dalam membantu Daulah Zankiyyah dan mempersiapkan kader-kader terbaik umat Muslim untuk membebaskan Syam khusnya Masjidil Al-Aqsa dari pasukan Salib dan Dinasti Fatimiyah di Mesir.
Sifat-Sifat Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dan wafatnya
_Muwaffaquddin Ibnu Qudamah Al-Maqdisi menyifati Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dengan mengatakan “Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani memiliki badan yang kurus, perawakan yang sedang, dada yang lebar, jenggot yang besar dan panjang, suara yang keras dan berwibawa”.
Diamnya lebih banyak daripada bicaranya, jika berbicara maka perkatannya tentang lintasan-lintasan hati, ia selalu ceria, pemalu dan perhatian terhadap orang bfakir dan miskin. Ia tidak pernah menyentuh emas. Jika seseorang memberinya emas maka ia meminta si pemberi untuk melatakannya di bawah sajadahnya dan setelah itu Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani menyuruh pembantunya untuk memberikan emas itu kepada tukang roti dan tukang sayur.
Para sejarawan telah sepakat bahwa Sayikh Abdul Qadir Al-Jailani wafat pada tahun 561 H. Ia hidup selama 91 tahun. Ia mengalami sakit. Anaknya Syaikh Abdul Jabbar bertanya padanya “Apa yang sakit kamu rasakan ?”. Ia menjawab “Semua tubuhku sakit kecuali hatiku, hatiku bersama Allah”. Kemudian ia mengangkat kedua tangannya dan mengucapkan “ Aku meminta pertolongan dengan kalimat Laa Ilaha Illallah, Maha sucu Dzat yang mulia”, Ia kemudian wafat.
Jenajahnya dimakamkan pada malam hari karena siang hari sulit untuk memakamkannya sebab penduduk kota Baghdad berdesak-desakan untuk menghadiri pemakakammnya. Ia dikarunia 49 anak dengan 27 anak laki-laki dan 4 orang isteri.
Imam Adz-Dzahabi berkata “Tidak ada satupun Syaikh besar yang memiliki banyak karamah melebihi Syaikh Abdul Qadir, akan tetapi banyak karamah-karamah itu yang tidak benar dan sebagain ada yang mustahil.
.
Sumber; Prof. Dr Ali Muhammad Ash Shallabi dalam buku ‘Bangkit dan Runtuhnya Daulah Zankiyyah terbitan Pustaka Al-Kautsar”
Komentar
Posting Komentar