Mengapa Bangsa Arab Meninggalkan Palestina Menurut Karen Amstrong ?

Mengapa Bangsa Arab Meninggalkan Palestina Menurut Karen Amstrong ?

::. Penulis : Rabiul Rahman Purba, S.H


Ketika Inggris merebut Palestina dari tangan Dinasti Turki Usmani pada tahun 1918, mereka tidak diberitahu secara resmi tentang Deklarasi Balfour. Orang-orang Arab percaya akan janji Inggris untuk memberikan kemerdekaan bagi Timur Tengah. Banyak orang Palestina menyambut Inggris dengan penuh harapan. Penyair Syekh Ali al-Rimawi menggambarkan periode panjang penjajahan Dinasti Turki Usmani sebagai masa kegelapan dan menyanjung kemenangan Inggris sebagai kemenangan keadilan atas penindasan. Khalid A. Sulaiman dalam bukunya “Palestine and Modren Arab Poetry” menyebutkan  puisi orang Arab :

Kalian (Inggris) seperti yang kami tahu, adalah pembela agung bagi kaum tertindas. Itulah mengapa kalian memenangkan pertempuran. Kalian seperti yang kami tahu, memiliki pandangan yang mulia terhadap Islam. Kalian memuja kemakmuran dan kemurahan hati

Tentu saja pandangan orang Arab-Palestina yang berbunga-bunga ini dan terlalu idelisasi pupus takala penerapan Deklarasi Balfour menjadi kebijakan Inggris yang resmi. Orang-orang Arab merasa dikhianati seperti yang diungkapkan oleh Wadi al-Bustami yang menjadi asisten sipil bagi administrasi militer, dalam sebuah puisi yang mengungkapkan :

Kami membuka hati kami untuk kalian, mengulurkan tangan kami, Aku melihat selat yang kian hari kian melebar memisahkan kita, kalian ada di jalur yang sedang sedang kami berada di jalur yang lain. Dalam ruangan di “Rumah Dinas Gubernur” ini aku melihat Istana rahasia yang bangkit menjadi “Rumah Nasional bagi kaum Yahudi”.

Selama tahun 1930-an, Inggris tetap dingin terhadap zionisme. Inggris memegang prinsip penyelesaian konflik dengan cara yang damai karena pemerintahan Inggris beruasaha untuk mengenyahkan kemungkinan yang cukup mengerikan akan terjadinya Perang Dunia. Inggris tetap menentang Zionisme dan bertekad untuk menjaga hak-hak Palestina. Pada tahun berikutnya, Inggris melakukan kesalahan serius. Orang-orang Palestina membutuhkan seorang pemimpin dan diputuskan bahwa Mufti Yerusallem akan menjadi Mufti Agung sekligus perwakilan orang palestina.

Haji Amin Al-Husaini terpilih menjadi Mufti Yerusallem, ia berusia 20-an tahun dan tidak mempunyai pengalaman dan pendidikan yang cukup. Yang menempati jabatan itu seharusnya adalah Syekh Hisam al-Din. Seorang terpelajar dan moderat namun ia tidak terpilih karena keluarga Haji Amin termasuk keluarga terkuat di Palestina. Haji Amin terus mengeluarkan berbagai kebijakan yang ekstrem dan mengakibatkan pengaruh yang mengundang bencana. Pada bulan Februari 1939, diadakan sebuah konfrensi di London untuk menyelesaikan masalah Palestina namun pihak Arab menolak untuk duduk dengan Yahudi dalam keadaan apapun.

Penolakan mutlak untuk hadir dalam perundingan ini akibatnya sangat fatal karena pihak Arab dianggap setuju apapun keputusan konfrensi.  Pihak Haji Amin juga berusaha bersekutu dengan Nazi Jerman. Orang-orang Palestina berada dalam model kepemimpinan yang buruk. Selama tahun 1930-an masyarakat Palestian terpecah dan membentuk partai-partai baru. Ada partai Istiqlal yang didirikan oleh Awni Abd al-Hadi, Partai Blok Nasional didirikan Abd al-Latif Salah, Partai Ishlah, Partai Pertengahan Nasional. Banyaknya partai tersebut telah memecah persatuan mereka untuk melawan Israel. Muhyi al-Din al-Hajj Isa menulis puisi yang menggambarkan kondisi tersebut :

“Mereka bertemu tapi gagal bersetuju. Betapa sering mereka menyerang dan banyak bicara. Tetapi mereka adalah para pembohong dan tak berguna. Di antara mereka kebencian dan niatan jahat yang telah mereka teguk sejak bayi muncul ke permukaan. Sebagian merancang jebakan bagi yang lain. Sebagian mengolok-ngolok impian orang lain. Berbagai gagasan baru diciptakan. Sebagian berpura-pura setia sementara mereka hanyalah pembohong dan orang-orang serakah”

Semntara itu, seorang penulis Rusia bernama Vladimir Jabotinsky mendirikan persatuan Zionis-Revisionis. Vladimir Jabotinsky menyatakan bahwa Zionisme adalah pertuangan kolonialisasi dan karena itu jatuh bangunnya Zionisme bergantung pada kekuatan militer.Menachem Begin yang kemudian menjadi Perdana Menteri Israel tahun 1977 membentuk kelompok teroris “Irgun Zvai Leumi”. Organisasi teroris lainnya adalah Lehi yang dipimpin oleh Avraham Stren. Kelompok teroris ini melakukan pembunuhan dan meledakan bom-bom di kantor-kantor pemerintahan Inggris.

Dengan berbagai serangan kepada Inggris tersebut, zionisme berhasil memksa Inggris untuk mendukung Israel dan menyerahkan  Palestina kepada Israel. Israel diproklamasikan tanggal 14 Mei 1948 dan sehari kemudian langsung diserbu oleh tentara dari Lebanon, Suriah, Yordania, Mesir dan Irak, perang ini dikenal sebagai perang Arab-Israel 1948. Israel dapat memenangkan peperangan ini  dan dapat merebut 70 % wilayah Palestina. Sekitar 750.000 orang Palestina keluar dari negeri mereka sendiri dan menjadi pengungsi. Mereka pergi karena ketakutan mereka terhadap kelompok teroris seperti Irgun Zvan Leumi.

Moshe Dayan berkata : “ Kita datang ke negeri ini, negeri yang telah dipenuhi oleh orang-orang Arab dan kita membangun sebuah komunitas Ibrani yaitu sebuah negara Yahudi di sini. Desa-desa Yahudi dibangun di atas tempat desa-desa orang Arab dan aku tidak menyalahkan kalian karena buku-buku geografi itu tidak ada lagi, bukan hanya buku-buku geografi itu tak ada lagi, desa-desa Arab juga tidak ada lagi”.  Moshe Dayan dan para Arkeolog Yahudi melakukan penggalian di Yerusalem yang tujuannya adalah menemukan situs-situs kuno bangsa Israel ribuan tahun yang lalu untuk membuktikan bahwa Palestina adalah Eretz Yisrael (tanah Israel).

Kekalahan pasukan Arab tahun 1948 hanya semakin menambah persaan yang terhina. Peristiwa terusirnya orang Palestina dari tanah mereka disebut dengan “Peristiwa Nakba (kehancuran)”. Negara-negara Arab seperti Yordania enggan menampung orang-orang Palestina yang terusir. Arab Saudi sudah sejak lama mendukung Deklarasi Balfour dan mendukung pembentukan Israel tahun 1948. Orang-orang Palestina merasa dikhianati oleh para pemimpin Arab yang mengabaikan masalah mereka.

Terlalu sering orang-orang Palestina digunakan untuk perang propaganda dan banyak retorika digunakan untuk menangisi nasib para pengungsi tetapi sedikit saja bantuan efektif yang datang. Banyak pemimpin Arab menentang adanya negara Palestina. Penyair Irak bernama Umar Abu Risha menulis puisi berjudu “Seusai Petaka” yang isinya :

“O bangsaku ! Masih adakah tempat tersisa di antara bangsa-bangsa yang memberimu ruang untuk mengayunkan pedang atau pena ? Aku memikirkan engkau dengan kepala tertunduk, malu menghadapi masa lalumu.

O bangsaku ! banyak saat ratapan pedih membunuh kata-kaat yang memuja engkau dilidahku. Bagaimana bisa bendera Israel terkibar di atap makam suci dan di bawah bayangan al-Haram

Penyair Irak bernama Adnan al-Rawi meratapi kekalahan tahun 1948 dengan membuat puisi berjdul “Aku Meminta Ampun Kepada Tuhan” dan ia bersikeras tidak percaya lagi pada dunia dan melupakan dirinya sebagai orang Arab. Bangsa Arab telah kehilangan nama dan dunianya. Setelah kekalahan perang Arab-Israel, di Mesir tampil Gamal Abdul Nasser. Di seantero Dunia Arab muncul idieologi Nasseriyyah dengan nada sikap anti semit dan anti barat setalah Gamal Abd Nasser berhasil meraih kemenangan merebut terusan Suez dari Israel dan sekutunya.

Nasser merasa bahwa orang-orang Arab harus menciptakan idieologi revolusioner Arab dan tidak boleh memninjam berbagai idieologi asing karena dalam Islamlah orang Arab memiliki kredo revolusioner mereka sendiri yang khas. Sikap revolusioner itu tidak siap diikuti oleh para pemimpin negara-negara Arab yang lebih tradisionil. Gamal Abd Nasser memandang bahwa Nabi Muhammad salallahu ‘Alaihi Wasallam pada dasarnya seorang revolusioner dan dalam Mesir ala Nasser, Islam ditampilkan sebagai agama yang secara tegas menentang depotisme dan berdedikasi pada penciptaan masyarakat yang adil dan setara.

Karena itu, pada akhir tahun 1950-an, Nasser terlihat siap untuk membentuk konfredasi negara-negara persatuan Arab Revolusioner yang kuat. Namun demikian, kenyataannya pembentukan federasi semacam ini terlalu sulit dalam situasi perkembangan Timur Tengah yang sedang bergolak. Nasser betul-betul terisolasi dari Dunia Arab lainnya. Negara-negara tradisional dan konservatif seperti Saudi Arabia terancam oleh Nasser.

Untuk mempertahankan kepemimpinan atas Dunia Arab, Nasser menunjukan langkah penolakan terhadap Israel. Langkah penolakan Israel menghantarkan pada Perang Enam Hari melawan Israel pada tahun 1967 yang dikenal dengan Perang Yom Kippur. Negara-negara Arab yang terlibat adalah Mesir, Libya, Suriah, Yordania, dan Irak sementara itu Arab Saudi dan negara-negara Arab lainnya mengambil sikap yang sama yaitu mendukung Israel.

Perang enam hari adalah kebalikan dari kasus Suez. Kali ini orang Arab dibuat terhina oleh Israel. Dalam keadaan terhina ini, wajar jika para pengungsi kemudian memandang masa lalu mereka di Palestrina dengan rasa nostalgia yang mendalam. Ketika mereka berbicara tentang keinginan untuk kembali ke tanah air mereka, itu jelas bukan sesuatu harapan yang realistis. Pada pertemuan Arab di Kairo tahun 1964, para pemimpin Arab melunakan orang-orang Palestina dengan membentuk Palestine Liberation Organization atau PLO untuk meredam perjauangan orang Palestina. Mereka memilih pemimpin PLO tersebut adalah Ahmed Shukairy yang nyaris bisa dikatakan orang yang tidak berguna.

Kebanyakan orang Palestina lebih memilih bergabung dengan organisasi Al-Fatah yang didirikan dan dipimpin Yasir Arafat. Di Barat, Yaser Arafat dipandang sebagai seorang Teroris namun di Dunia Arab, ia memiliki citra yang bermacam-macam.


Sumber : Karen Amstrong, Perang Suci (Holy of War)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Umat Kristen Pada Masa Nabi Muhammad SAW

Shafiyyah binti Huyaiy Istri Rasulullah Berdarah Yahudi